Benarkah Perempuan Diciptakan dari Tulang Rusuk Laki-laki? Sekilas Kritik terhadap Buku Perempuan Tertindas
“Benarkah Perempuan Diciptakan dari
Tulang Rusuk Laki-laki?”
Sekilas Kritik terhadap Buku Perempuan Tertindas? Kajian Hadis-hadis Misoginis
Penulis : Hamim Ilyas, dkk
Judul Buku : Perempuan Tertindas?: Kajian Hadis-hadis
Misoginis
Penerbit : eLSAQ Press
Cetakan : Edisi Kedua Tahun 2005
Pendahuluan
Para feminis menganggap bahwa perbedaan
gender yang melahirkan ketidakadilan bahkan kekerasan pada perempuan merupakan konstruksi
sosial dan budaya yang terbentuk
melalui proses yang panjang. Hal ini
sebagaimana yang dikatakan oleh Foucault bahwa bahwa gender merupakan bentukan sosial.[1]
Karena konstuk sosial budaya seperti itu telah menjadi kebiasaan dalam
waktu yang sangat lama, maka perbedaan
gender tersebut sudah menjadi keyakinan dan ideologi yang sudah mengakar dalam kesadaran masing-masing individu,
masyarakat bahkan negara.
Catatan sejarah mengenai sikap ketidakadilan, penindasan, dan menganggap perempuan sebagai
makhluk kedua, sekunder, lemah, tidak berharga, dan hanya menjadi budak seks bagi laki-laki
merupakan asal muasal gerakan feminisme. Gerakan ini muncul sebagai bentuk pembelaan terhadap hak-hak kaum perempuan sebagai manusia.
Sikap dan
perlakuan buruk terhadap perempuan di atas tidak hanya terjadi di Barat,
melainkan di Timur yakni bangsa Arab (pra Islam) juga mencatat demikian. Akan
tetapi, Islam datang dengan ajaran yang sangat mulia dimana laki-laki dan
perempuan ditempatkan pada posisi sejajar. Islam mendobrak tradisi patriarki
bangsa Arab, dimana Nabi Muhammad menjadi sosok teladan dalam menyiarkan ajaran
Islam, termasuk di dalamnya mengangkat derajat perempuan dan bagaimana
memuliakan mereka.
Atas dasar
itulah, Agus Moh. Najib dalam tema “penciptaan perempuan dari tulang rusuk
laki-laki” dalam buku “Perempuan Tertindas?: Kajian Hadis-hadis Misoginis”
berkesimpulan bahwa semangat dan pesan universal yang dibawa Islam pada
dasarnya adalah persamaan antara laki-laki dan perempuan serta menegakkan
keadilan gender dalam masyarakat.[2] Apabila dibaca
sepintas pernyataan di atas, dapat dikatakan tidak ada yang salah. Namun, jika
dipahami secara mendalam, sebenarnya persamaan bagaimana yang dimaksud oleh Agus
Moh. Najib disini? Apakah secara kedudukan laki-laki dan perempuan di mata
Allah dimana keduanya merupakan manusia, atau menjadikan laki-laki dan
perempuan itu sama dalam segala aspek kehidupan, melihat kalimat setelahnya adalah “serta menegakkan keadilan gender
dalam masyarakat”. Dapat digarisbawahi bahwa baik laki-laki maupun perempuan
adalah sama, yaitu makhluk Allah yang disebut dengan manusia, keduanya diberikan kelebihan atau keutamaan masing-masing. Adapun yang
paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa. Disini jelas bahwa
laki-laki dan perempuan merupakan dua insan yang setara namun dengan fitrah yang berbeda. Anggaplah kita mengambil pendapatnya Victoria Neufeuld dimana menurutnya
seks bersifat kondrati dan gender bersifat non-kodrati[3], tetap
saja itu berarti laki-laki dan perempuan tidaklah sama meskipun disini yang dimaksud hanyalah dari segi seks, tetapi hal ini
tentu akan berdampak pada aspek gender sosial atau budaya. Kecuali, ia memang
sama sekali tidak mempertimbangkan segala konsekuensi akibat dari perbedaan
mendasar yang sudah disebutkan di atas.
Kembali melanjutkan alur pendahuluan di atas, bahwa para feminis Islam di era postmodern ini tampaknya ikut latah dalam merespon dan
menerima segala hal yang datang dari Barat, termasuk isu gender. Padahal, mereka percaya Islam datang dengan
membawa ajaran yang sangat mulia dan adil dimana wanita diangkat martabatnya dan dimuliakan. Pertanyaannya, apa
tujuan dibentuknya feminisme Islam? Sedangkan Islam sudah sangat jelas baik Al-Qur’an
maupun hadis menempatkan, memuliakan, dan mengangkat derajat perempuan. Jika
dianggap bahwa terdapat hal-hal yang harus dibenahi akibat kesalahpahaman para
pendahulu terkait perempuan, atau masih banyaknya fenomena dimana laki-laki
menindas atau memperlakukan perempuan dengan buruk, maka yang sepantasnya
dibentuk adalah misalnya “ketanahan keluarga” dan semisalnya, dimana spirit
yang dibawa adalah agar perempuan maupun laki-laki diperlakukan dengan baik dan
semestinya sesuai dengan ajaran Islam. Kemudian, mengapa tidak dengan istilah “feminisme”
saja? Cendikiawan muslim sepatutnya mempertimbangkan konsekuensi apa yang akan
muncul dengan penggunaan istilah tersebut. Karena istilah atau suatu kata yang
digunakan tidak dapat lepas dari sejarah yang melatarbelakanginya. Kondisi
Barat saat ini jelas berbeda dengan kondisi umat Islam pada saat Rasulullah menyebarkan
spirit Islam. Mengambil istilah “feminisme” guna merevisi, mengomentari, dan
menilai Islam tampaknya memperlihatkan bahwa umat Islam itu sendiri terkecoh
dengan aspek-aspek parsial dan melupakan keuniversalan ajaran Islam itu
sendiri.
Para feminis
Islam beranggapan bahwa para ulama klasik yang meriwayatkan dan menafsirkan
Al-Qur’an dan hadis (sumber utama ajaran Islam) tampaknya masih dipengaruhi
oleh budaya patriarki yang sudah mengakar di tradisi Arab pada masa sebelumnya.[4] Hal
ini dapat dilihat dari beberapa hadis yang menurut mereka patut untuk diteliti
dan tanyakan kembali keshahihan dan makna sebenarnya dari hadis tersebut.
“Dalam sumber ajaran Islam tersebut masih dijumpai hadis-hadis yang arti
harfiahnya mendukung pandangan-pandangan “misoginis” yang merendahkan perempuan
dan diterima oleh banyak umat Islam sehingga menjadi pandangan budaya, yang
mempengaruhi relasi gender yang mereka lakukan.”[5]
Di antara hadis yang perlu diteliti
adalah hadis yang menyebutkan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk
laki-laki.
Pembahasan
Menurut Agus
Moh. Najib, hadis yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk
atau perempuan bagaikan tulang rusuk, jika dilihat dari segi sanadnya bernilai
sahih. Namun demikian, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama
menyangkut matannya, khususnya matan yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan
dari tulang rusuk.[6] Di antara
mereka ada yang menerima dan ada yang menolak. Pada kelompok yang menerima, ada
dua pendapat. Yang pertama mengartikan hadis tersebut secara tekstual, dan digunakan
dalam menafsirkan QS. An-Nisa’ ayat 1[7]
tentang penciptaan awal manusia, sehingga menurut pendapat ini Hawa diciptakan
dari tulang rusuk Adam. Sementara yang kedua mengartikan hadis tersebut secara
metaforis, bahwa kaum laki-laki harus berlaku baik dan bijaksana dalam
menghadapi perempuan. Kata “min nafsin wahidah” dalam QS. An-Nisa’ ayat 1
menurut pendapat ini tidak berarti “Adam” melainkan “jenis yang satu”, sehingga
kata “jauzaha” (pasangannya) yang diyakini sebagai Hawa, diciptakan pula dari
“bahan atau jenis yang satu”, sebagaimana penciptaan Adam. Sehingga
reinterpretasinya menjadi “Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kalian dari jenis yang satu dan darinya (jenis yang satu) Allah
menciptakan pasangannya”. Kemudian, kelompok ini juga menunjukkan beberapa ayat
yang sesuai dengan ayat di atas seperti, “Allah menjadikan bagi kalian
istri-istri dari jenis kalian sendiri”[8],
dan “Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari jenis kalian
sendiri”[9].
Sementara kelompok yang menolak
hadis tersebut, berpendapat bahwa hadis tersebut ditolak karena isinya tidak
sesuai dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Kelompok ini sama dengan kelompok pertama
yang berpendapat bahwa kata “nafsin wahidah” berarti “jenis yang satu”,
sehingga tidak ada perbedaan antara penciptaan Adam dan Hawa yakni sama-sama
diciptakan dari jenis atau bahan yang sama. Dengan demikian hadis ini ditolak
karena dianggap tidak sesuai dengan ayat Al-Qur’an. Lalu, mereka juga berpendapat
bahwa pemahaman mengenai perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk
laki-laki (Adam) nampaknya timbul dari ide yang tercantum dalam Perjanjian Lama
(Kitab Kejadian II Ayat 21-22). Dalam artian, jika informasi semacam itu tidak
diketahui sebelumnya, pemahaman tersebut tidak akan terlintas dalam pikiran
orang Islam. Lebih jauh, Riffat Hasan menyatakan bahwa teologi perempuan yang
terkadung dalam hadis tersebut dengan didasarkan pada pandangannya menyangkut
ontologi, biologi dan
psikologinya jelas bertentangan dengan yang tersurat dan tersirat dalam
Al-Quran, karena itu hadis tersebut atas dasar isinya harus ditolak.
Adapun posisi Agus Moh. Najib dalam
tulisannya, dapat dikatakan sebagaimana kelompok pertama (menerima hadis
tersebut) dengan catatan bahwa hadis tersebut pada dasarnya adalah pesan kepada
laki-laki untuk berbuat adil dan
bijaksana kepada perempuan, dan kata “min nafsin wahidah” dalam QS.
An-Nisa’ ayat 1 diartikan sebagai “jenis yang satu”.
Namun menurut hemat penulis, terlepas
dari apakah matan hadis di atas pada dasarnya (yang benar) adalah “hadis
tersebut merupakan nasihat kepada laki-laki untuk berbuat adil dan bijaksana
kepada perempuan” atau “perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk
laki-laki” ini sama sekali tidak menjadikan laki-laki dan perempuan memiliki
kedudukan atau posisi yang berbeda (tidak setara). Hal ini dapat dianalogikan
pada penciptaan ayam. Ketika kita mempertanyakan dalam penciptaan ayam, apakah
telur atau ayam duluan yang diciptakan. Tentunya, telur tidak lantas menjadi lebih
mulia hanya karena ia diciptakan lebih awal dari ayam, begitupun ayam, tidak
akan menjadi lebih mulia dibandingkan telur jikapun terbukti ia duluan.[10]
Tampak jelas bahwa hadis di atas sebenarnya diperdebatkan karena kecenderungan para
penafsir kontemporer atau kalangan cendikiawan muslim saat ini dalam memahami
hadis tersebut secara negatif. Mereka tidak sepakat dengan penafsiran secara
tekstual karena dianggap melahirkan pandangan negatif terhadap
perempuan.
“Pandangan ini
jelas melahirkan pandangan negative terhadap perempuan, karena perempuan
dianggap sebagai bagian dari laki-laki dan diciptakan hanya sebagai pendamping
dan pelengkap bagi laki-laki.”[11]
Padahal belum tentu demikian,
karena dalam QS Al-Hujurat ayat 13 pun sudah sangat jelas disebutkan bahwa
manusia yang paling mulia di sisi Allah adalah yang paling bertakwa.[12]
Dengan demikian, perbedaan jenis kelamin, suku, bangsa, kaya atau miskin tidak
akan menjadikan seseorang paling mulia di sisi Allah. Jikapun ada anggapan
orang sebagaimana di atas, tidak berarti kemudian penafsiran ulama salaf
terhadap QS An-Nisa’ ayat 1 langsung tidak dibenarkan. Perbedaan cara memaknai
tersebut tidaklah bersifat tadhadd (bertentangan) namun hanya bersifat tanawwu‟
(beragam).[13]
Selain itu, kritikan terhadap hadis
yang dianggap misoginis ini juga merupakan keyakinan mereka bahwa,
“Hasil
interpretasi dari Al-Quran dan hadis tentu saja bukan Al-Quran dan hadis itu
sendiri, tetapi hasil interpretasi pada dasarnya merupakan hasil dialog antara
teks dan penafsir yang dipengaruhi oleh kondisi social, budaya, politik, bahkan
kepentingan-kepentingan tertentu oleh penafsir.”[14]
Tuduhan terhadap ulama semacam itu
tentunya tidak dapat diterima secara mentah-mentah, selain karena tidak adanya
bukti, juga karena ulama merupakan waritsatu al-anbiya’. Sebelum
memberikan asumsi dan kritikan, para penafsir kontemporer baiknya sudah
merampungkan bacaan-bacaannya terhadap kitab-kitab turats dan biografi serta
perjuangan bagaimana kehati-hatian para ulama salaf dalam menafsirkan Al-Quran
dan hadis (tidak seenaknya saja). Karena jika demikian halnya, maka penilaian semacam
ini, tentunya dapat pula diputarbalikkan kepada Agus Moh. Najib dalam
tulisannya, bahwa penafsiran yang ia dan orang-orang semisalnya yakini dan
paparkan di atas dipengaruhi pula oleh latar belakang, sosial, budaya,
dan politik, serta kepentingan-kepentingan tertentu. Dalam skala lebih besar, kecenderungan
menilai suatu hadis mengandung “kebencian/misoginis” sebagaimana dalam buku
Perempuan Tindas karya Imam Ilyas dan kawan-kawan, tentunya dapat juga
dikatakan sebagai sebab adanya kepentingan-kepentingan atau kecenderungan- kecenderungan
tertentu yang melatarbelakangi. Dampak negatifnya adalah relatifnya kebenaran
Al-Quran disebabkan Al-Quran dianggap terbuka dan bebas ditafsrikan oleh
siapapun.
Sebelum ditutup, perlu diketahui bersama
bahwa buku Imam Ilyas dengan judul Perempuan Tertindas?: Kajian Hadis-hadis
Misoginis ini adalah buku yang berisi tentang kumpulan tulisan dan kritikan
terhadap hadis-hadis yang dianggap misoginis. Penulis yang bergabung didalamnya
adalah para akademisi yang menaruh empati terhadap gerakan feminisme (istilah
yang datang dari sejarah Barat yang panjang). Karena itu, sebagai pengingat
bersama penting kiranya agar cendikiawan muslim ataupun akademisi untuk tidak
bersikap latah terhadap apa-apa yang sebenarnya sudah jelas dalam ajaran Islam
itu sendiri.
Menurut Yongki Sutoyo, setelah
dikaji yang menjadi problem utama dalam pandangan feminisme adalah dimana
maskulinitas ditempatkan sebagai symbol atau lambang kekuatan, kekuasaan, rasional,
dan kesempurnaan. Simbol ini
tentunya berakar dari sejarah Barat pada saat itu. Maskulinitaslah yang dihargai
(ada kaitannya dengan pandangan kapitalis), dan ini dominan dimiliki oleh
laki-laki, sedangkan feminitas dilambangkan sebagai kelemahan,
ketidakberdayaan, dan seterusnya. Dengan pandangan tersebut, akhirnya
menjadikan perempuan harus memiliki maskulinitas untuk mencapai hak dan
penilaian yang sama dengan laki-laki. Dengan demikian, dalam pandangan feminisme,
maskulinitas diletakkan sebagai nilai yang harus dicapai. Adapun Islam tentu berbeda.
Hal ini sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya. Islam memandang laki-laki
dan perempuan sebagai manusia yang berada di posisi yang setara. Segi
maskulinitas dan feminitas tidak dipersoalkan, karena keduanya diciptakan dan
dianugerahkan dengan kelebihan masing-masing. Adapun yang paling mulia di sisi
Allah adalah yang paling takwa. Dengan kata lain, baik laki-laki maupun
perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berlomba-lomba menjadi hamba yang
paling takwa. Karena itu, nilai yang dihargai dan hendak dicapai dalam Islam adalah
bukan maskulinitas melaikan ketakwaan kepada Tuhannya. Berikut gambaran kedua maksud
di atas:[15]
Dengan melihat kedua gambar di atas, maka
jelas bahwa sebenarnya yang menjadi dasar persoalan dan motivasi kaum feminis
dan umat Islam itu memang berbeda. Feminisme memandang segala sesuatu cenderung
relative, tidak konsisten, tergantung bagaimana kemudian mereka melihat dan
menilai fenomena sekitarnya dengan kacamata manusia (akal manusia sebagai tolak
ukur kebenaran). Sedangkan umat Islam memandang sesuatu, dan apapun yang
dilakukan atas dasar ketaatan kepada Allah. Mereka percaya bahwa apa-apa yang
disyariatkan oleh Allah adalah untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Hal ini
tidak berarti manusia tidak bebas dalam pikiran dan tindakan, karena pada
dasarnya tidak ada manusia yang benar-benar bebas bahkan jika bebas itu
diartikan seradikal mungkin oleh manusia.
Penutup
Hadis yang
menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki, atau
perempuan bagaikan tulang rusuk dari segi sanadnya bernilai shahih, namun ada
perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam segi matannya, khususnya matan yang
mengatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki. Pada kelompok
pertama menerima hadis tersebut dan digunakan dalam menafsirkan QS An-Nisa ayat
1. Pendapat kelompok pertama ini dianggap tekstual dalam menafsirkan hadis tersebut.
Sementara kelompok kedua terbagi menjadi 2 pendapat. Pendapat pertama dari
kelompok kedua menerima hadis tersebut, tetapi dengan penafsiran metaforis,
dimana hadis tersebut dianggap merupakan pesan Nabi Muhammad saw kepada kaum
laki-laki untuk berbuat baik kepada perempuan. Kemudian, pendapat pertama dari
kelompok ini juga mengartikan QS An-Nisa ayat 1 dalam kata “nafsin wahidatin”
sebagai “jenis yang satu”. Yaitu, dimana Adam dan Hawa diciptakan oleh Allah
dari jenis atau bahan yang sama, bukan Adam diciptakan dari tulang rusuk Adam.
Sedangkan pendapat kedua dari kelompok ini menolak keshahihan hadis tersebut.
Mereka berpendapat bahwa hadis tersebut bertentangan dengan QS An-Nisa ayat 1, dimana
perempuan diciptakan bukan dari tulang rusuk laki-laki sebagaimana hadis
tersebut tetapi dari jenis yang sama. Pendapat kedua pada kelompok kedua ini
pun mengartikan kata “nafsin wahidah” sebagai “jenis yang satu”.
Namun demikian, terlepas dari
apakah matan hadis di atas pada dasarnya (yang benar) adalah “hadis tersebut
merupakan nasihat kepada laki-laki untuk berbuat adil dan bijaksana kepada
perempuan” atau “perempuan (Hawa) diciptakan dari tulang rusuk laki-laki” ini
sama sekali tidak menjadikan laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan atau
posisi yang berbeda (tidak setara). Akan tetapi, karena kecenderungan para
penafsir kontemporer atau kalangan cendikiawan muslim saat ini dalam memahami
hadis tersebut secara negative, maka seolah hadis di atas dianggap melahirkan
pandangan negative terhadap perempuan. Padahal, konsep dalam Islam sudah sangat
jelas yakni terkandung dalam QS Al-Hujurat ayat 13, dimana manusia yang paling
mulia di sisi Allah adalah yang paling takwa. Dengan demikian, perbedaan jenis
kelamin, suku, bangsa, kaya atau miskin tidak akan menjadikan seseorang paling
mulia di sisi Allah. Selain itu, kritikan terhadap hadis tersebut beranjak dari
tuduhan atau anggapan bahwa ulama salaf menafsirkan Al-Quran tidak lepas dari
latar belakang, social, budaya, dan politik, serta kepentingan-kepentingan
tertentu. Karena itu, hadis dan tafsir Al-Quran An-Nisa’ ayat 1 patut untuk
dicurigai. Tuduhan seperti ini tidak bisa diamini tanpa bukti yang jelas,
apalagi ulama merupakan waritsatu al-anbiya’, menafsirkan Al-Quran
secara penuh kehati-hatian, memperhatikan adab dan kedekatan dengan Allah, juga
menggunakan metodologi penafsiran yang mapan.
[1] Michel Foucault, Argumen Kesetaraan Gender
Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1999), 35.
[2] Hamim Ilyas, dkk, Perempuan
Tertindas?: Kajian Hadis-hadis Misoginis, (Yogyakarta: eLSAQ Press dan PSW
UIN Sunan Kalijaga, 2005), 32.
[3] Victoria Neufeuld (ed.), Webster’s New World Dictionary, (New York:
Webster’s New World Clevenland, 1984), 561.
[4] Hamim Ilyas, dkk, Perempuan Tertindas?: Kajian Hadis-hadis Misoginis,
(Yogyakarta: eLSAQ Press dan PSW UIN Sunan Kalijaga, 2005),
[5] Hamim Ilyas, dkk, Perempuan Tertindas?...................., 2005), 52.
[6] Terdapat setidaknya dua redaksi hadis yang
menjadi kritikan oleh para pro feminisme yaitu
مَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَإِذَا شَهِدَ أَمْرًا فَلْيَتَكَلَّمْ
بِخَيْرٍ أَوْ لِيَسْكُتْ وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ
مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَىْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلاَهُ إِنْ ذَهَبْتَ
تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ اسْتَوْصُوا
بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
dan اَلْمَرْأَةُ
كَالضِّلَعِ، إِنْ أَقَمْتَهَـا كَسَرْتَهَا، وَإِنِ اسْتَمْتَعْتَ بِهَا
اسْتَمْتَعْتَ بِهَا، وَفِيْهَا عِوَجٌ. Lihat Hamim Ilyas, dkk, Perempuan
Tertindas…………….., 2005), 34.
[7]
Lihat QS. An-Nisa’ (4): ayat 1 berbunyi يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُوا۟ رَبَّكُمُ ٱلَّذِى خَلَقَكُم
مِّن نَّفْسٍ وَٰحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا
كَثِيرًا وَنِسَآءً ۚ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ٱلَّذِى تَسَآءَلُونَ بِهِۦ وَٱلْأَرْحَامَ
ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
[8] Lihat QS. An-Nahl ayat 72 yang berbunyi, وَاللَّهُ
جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ
أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ
أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ
[9] Lihat QS. An-Nisa ayat 128 yang berbunyi, لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ
عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
[10] Khoirul Atqiya, Feminismee, Diskusi
Program Kaderisasi Ulama UNIDA Gontor, pada tanggal 24 Juni 2020, pukul 80.00
WIB.
[11] Hamim Ilyas, dkk, Perempuan Tertindas?...................., 2005), 39.
[12] Lihat QS. Al-Hujurat ayat 13 yang berbunyi, يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ
وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
[13] Ryandi dan Agusman Damanik, Hadist
Penciptaan Perempuan Dari Tulang Rusuk (Analisis-Kritis Terhadap Pandangan
Feminis), dalam makalah Universitas Islam Negeri Sumatera Utara.
[14] Hamim Ilyas, dkk, Perempuan Tertindas?...................., 2005), 38.
[15] Yongki Sutoyo, Feminismee, Diskusi
Program Kaderisasi Ulama UNIDA Gontor, pada tanggal 2 Juli 2020, pukul 80.00
WIB.