Jl. Laksda Adisucipto, Papringan, Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281
HIMMPAS SUKA
Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Slider 1
Slider 1
Slider 2
Slider 2
Slider 3
Slider 3
Slider 4
Slider 4
Home PEMIKIRAN ISLAM

LIBERALISASI PEMIKIRAN ISLAM: Gerakan bersama Misionaris, Orientalis, dan Kolonialis

"LIBERALISASI PEMIKIRAN ISLAM: Gerakan bersama Misionaris, Orientalis, dan Kolonialis"

 


RESENSI BUKU

Oleh: Ramadhani Tarigan

IDENTITAS BUKU

Judul buku                : Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan bersama Misionaris, Orientalis, dan Kolonialis)

Pengarang                  : Hamid Fahmy Zarkasyi

Penerbit                      : Centre for Islamic and Occidental Studies (CIOS)

Tahun terbit              : 2010

Tebal halaman           : 139 halaman

Paham liberalisme sudah sangat familiar dan banyak diperbincangkan dari berbagai kalangan di seluruh penjuru dunia. Paham ini digaungkan terus menerus dan begitu banyak mengambil perhatian para pemikir atau kalangan akademisi. Berbagai respon, baik positif maupun negatif terhadap paham ini melalui karya-karya tulis dapat banyak kita temukan. Hingga saat ini keberpihakan terhadap paham liberalisme tampak lebih mendominasi di berbagai bidang kehidupan.

Hamid Hamid Zarkasyi dalam bukunya yang berjudul “Liberisasi Pemikiran Islam (Gerakan bersama Misionaris, Orientalis, dan Kolonialis)” tampak berbeda dengan pemikir atau cendikiawan muslim lainnya. Dalam karyanya tersebut, ia tidak begitu saja menerima pemikiran-pemikiran yang ditawarkan oleh Barat, akan tetapi ikut merespon dengan mengkaji, mengkritisi dan membantah pemikiran-pemikiran tersebut secara gamblang, empuk, dan logis. Bantahan-bantahan tersebut tidak berarti Hamid anti atau tidak terbuka dengan perkembangan zaman yang terjadi saat ini. Ia mengkritisi dan membantah pemikiran-pemikiran tersebut dikarenakan tidak sejalan dengan Islam itu sendiri. Islam bersifat menyeluruh adapun paham-paham yang dipelopori oleh manusia seperti pemikiran-pemikiran di atas bersifat dikotomis dan parsial saja. Karena itulah, Hamid dapat dikatakan berbeda dengan sebagian cendikiawan muslim lainnya, dimana malah ikut-ikutan berpartisipasi, berkontribusi, dan menyebarkan paham tersebut melalui karya-karya mereka dengan argumen bahwa itu adalah “pembaharuan pemikiran Islam” atau yang biasa disebut sebagai tajdid. Hamid menjelaskan bahwa hakikatnya liberalisme hadir untuk mengusung paham-paham yang terdapat dalam pandangan hidup dan kebudayaan Barat, atau dengan kata lain untuk kepentingan Barat (misionaris, orientalis, dan kolonialis versi baru). Upaya Barat adalah mencekoki paham-paham mereka untuk dapat diterima oleh seluruh negara di dunia terutama Islam yang pada hakikatnya berseberangan dengan asas kehidupan Barat. Karena itu, bagian pendahuluan pada buku ini ia menjelaskan mengenai Barat modern dan postmodern. Barat modern ditandai dengan rasionalisme, sekularisme, emperisme, dualisme atau dikotomi, desakralisasi, non-metafisis, dan pragmatisme. Pemikiran-pemikiran di atas pada intinya bertumpu pada rasio dan spekulasi filosofis dan bukan pada agama. Pendekatan intelektual dan moralnya bersifat dikotomis. Pemikirannya terbuka dan selalu berubah. Makna realitas dan kebenaran hanyalah terbatas pada realitas sosial, kultural, empiris dan selalu bersifat rasional. Sedangkan Barat postmodern ditandai dengan nihilisme, relativisme, anti-otoritas, pluralisme, multikulturalisme, persamaan/equality, feminisme/gender, dan liberalisme yang pada akhirnya agama dan persepsi manusia dianggap sama yakni tidak mempunyai kebenaran absolut. Dengan demikian, perbedaan yang mendasar antara keduanya adalah Barat Modern mencari hakikat sedangkan Barat Postmodern menggugat hakikat.

Pada bab kedua, ia menguraikan perbandingan atau perbedaan antara Barat dan Islam. Dimana kedua kubu ini memiliki perbedaan nilai yang sangat tajam. Bagi Barat, agama sebagai salah satu elemen dari seluruh elemen peradaban. Sedangkan bagi Islam, agama sebagai asas seluruh elemen peradaban. Pandangan hidup Islam bersumberkan pada wahyu, hadits, akal, pengalaman, dan intuisi dengan pendekatan tawhidi. Adapun pandangan Barat adalah seperti sekulerisme, rasionalisme, emperisme, pluralisme, dan lain sebagainya yang tidak terdapat dalam tradisi intelektual Islam, bahkan jika dikaji secara teliti bertentangan dengan Islam.

Pada bab ketiga, ia menjelaskan mengenai makna dan sejarah liberalisme. Pada awalnya, liberalisme dipicu oleh kondisi ekonomi dan politik yang didominasi oleh sistem feodal. Baru setelah berhasil melakukan liberalisasi ekonomi, politik, dan sosial yang berkaitan dengan itu, lalu mengarah pada liberalisasi agama dimana agama disingkarkan dari kehidupan publik menjadi bersifat individual (sekulerisasi). Selain itu, dengan masuknya pemahaman liberalisme ke dalam pemikiran keagamaan maka banyak konsep agama Kristen yang berubah pada saat itu. Pada akhirnya, dari pemahaman inilah kemudian tumbuh paham pluralisme, relativimse, dan lain sebagainya yang telah diuraikan di atas.   

Pada bab keempat, diuraikan mengenai Islam dan tantangan liberalisme. Dimana pada dasarnya, Islam adalah tantangan bagi liberalisme dalam mengepakkan pengaruhnya, begitupun liberalisme adalah tantangan bagi Islam karena terus berusaha mematahkan sendi-sendi Islam dengan memperlihatkan wajah Islam yang buruk di mata dunia serta menjauhkan umat Islam itu sendiri dari Tuhan dan agamanya.

Pada bab kelima, Hamid menjelaskan dengan sangat detil tentang agen-agen liberalisme beserta langkah-langkah strategis yang harus dilakukan oleh Barat guna menguasai dan mempengaruhi umat Islam. Hamid mengatakan bahwa agen-agen liberalisme ini adalah  para misionaris, orientalis, dan kolonialis. Ketiga agen di atas saling berkaitan, berhubungan, dan bekerja sama dalam menaklukkan Islam. Pada buku ini, Hamid tidak asal bicara, strategi ini sudah sangat jelas diuraikan dan merupakan hasil kajian Barat terhadap Islam selama ini. Kekuatan dan kelemahan Islam berhasil dilacak dan kemudian dirumuskan atau dirancang bagaimana menghancurkannya. Disini, Barat mengidentifikasi umat Islam kepada 4 kelompok yaitu: 1) fundamentalis, 2) tradisionalis, 3) modernis, dan 4) liberal. Keempat kelompok ini kemudian dicarikan strategi dalam penanganannya. Inilah kemudian hemat pembaca yang sedang terjadi di Indonesia saat ini. Hal itu pula kemudian pada bab keenam (VI) Hamid menjelaskan mengenai liberalisasi di Indonesia. Liberalisasi yang dilakukan di Indonesia terlihat sangat rapi, dimana kata “Islam moderat” gencar dibahas, dikaji, dan disosialisasikan sebagai bentuk Islam yang ideal bagi Indonesia. Padahal, jika dikaji secara teliti jelas bahwa konsep Islam moderat yang dimaksud oleh Islam berbeda dengan yang dimaksud oleh Barat. Islam moderat yang ditafsirkan oleh Barat adalah Islam yang mau menerima, terbuka, dan bahkan mendukung pemikiran-pemikiran dari Barat, yang mencocok-cocokkan segala konsep Barat ke dalam Islam.

Terakhir, pada bab ketujuh, Hamid mengungkapkan bagaimana penerapan liberalisme pemikiran. Sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas bahwa penerapan liberalisme ini dapat dilakukan oleh tiga agen penting di atas yakni misionaris, orientalis, dan kolonialis. Pemikiran orientalis memiliki cara pandang Barat terhadap Islam merupakan sumber bagi cendikiawan muslim untuk mengkritisi agamanya sendiri untuk dapat memperkenalkan “perubahan atau pembaharuan pemikiran”. Pemikiran politik dan ekonomi Barat yang kolonialis itu merupakan ujung tombak untuk merobek pemikiran umat Islam melalui berbagai macam paham ideologi dan pandangan hidup Barat. Sedangkan misionaris dengan misinya merupakan kekuatan yang telah lama berkonfrontasi dengan umat Islam dari sejak zaman Islam di Spanyol hingga perang Salib, bekerja sama secara aktif dengan keduanya. Pemikiran yang berasal dari tiga unsur atau agen inilah yang kini digunakan untuk meliberalkan pemikiran umat Islam di Indonesia. Beberapa pemikiran yang terus digalakkan termasuk di Indonesia adalah seperti penyebaran doktrin relativisme, melakukan kritik terhadap Al-Qur’an, penyebaran paham pluralisme agama, dan mendekonstruksi syariah. Pemikiran-pemikiran semacam ini jelas banyak kita temui terutama para akademisi atau mahasiswa yang berada di kampus-kampus dengan latar belakang Islam. Inilah fenomena yang terjadi saat ini.

Menurut pembaca, Hamid telah berhasil menguraikan hal-hal yang sangat mendasar mengenai liberalisasi hingga hal-hal yang tampak mengkhawatirkan dan menakutkan atau arah (goals) dari paham ini. Hal ini dapat dilihat bagaimana penulis menyusun kalimat yang padat dan alur yang sistematis. Pesan yang diuraikan mampu memberikan penjelasan yang sangat gamblang kepada pembaca. Kritikan-kritikan serta bantahan-bantahan yang dilontarkan terhadap pemahaman tersebut tidak sebatas bantahan tanpa dasar melainkan berdasarkan data, fakta, logika, dan kitab-kitab turats. Pembaca berhasil dibuat hanyut dan berdialog dengan diri sendiri tentang posisi pembaca dalam buku tersebut, seperti apakah pembaca termasuk fundamentalis, tradisionalis, modernis, atau liberal. Pembaca kemudian mendapati diri pembaca termasuk pada kategori tradisionalis-modernis, dimana golongan ini termasuk pada pihak yang cukup menguntungkan bagi Barat. Melalui karya ini, pembaca benar-benar diajak berpikir, merenung, melihat dan mengamati setiap kondisi yang terjadi pada saat ini di tengah arus globalisasi. Tulisan ini sangat recommended dibaca oleh kalangan akademisi, mahasiswa, pemikir Islam, tokoh-tokoh agama, dan lain sebagainya guna menumbuhkan kesadaran sebagai seorang muslim yang sebenarnya sedang dihadapkan dengan persoalan umat yang luar biasa. Dengan kata lain, memprioritaskan permasalahan usuliyah bukan furu’iyah.

Hamid Hamid Zarkasyi membawakan karya ini dengan bahasa yang kata demi katanya memberikan makna dengan uraian singkat yang sangat gamblang. Walaupun bahasa yang digunakan banyak menggunakan istilah Barat yang memang itulah istilah yang sedang dikaji, tetapi membuat pembaca merasa terus melanjutkan bacaan. Pertama kali membaca kata pengantar bahkan kata sambutan dari buku ini, pembaca langsung dibuat tertarik, seolah diajak berdialog, timbul rasa penasaran. Buku kecil dengan tebal 139 halaman ini mengajak para pembaca untuk membuka pintu yang selama ini tertutup atau dengan kata lain menyadarkan  kita sebagai umat Islam dari tidur panjang kita.

Secara umum, buku ini hemat pembaca tidak memiliki kekurangan yang berarti. Maksudnya, kekurangan yang terdapat di buku ini hanya sebatas pada banyaknya ditemukan kesalahan pada eyd, seperti kata sistem yang ditulis “sistim”, dan masih banyak ejaan lainnya. Terakhir, setelah membaca buku ini banyak kemudian pertanyaan baru yang muncul di kepala pembaca untuk tahu lebih dalam dan menguatkan serta memperbaiki pemikiran yang selama ini masih ambigu sebagai salah satu akibat dari beragam pemikiran Barat yang 7 tahun terakhir ini pembaca ikuti.

See the source image

                                                 Buku Liberalisasi Pemikiran Islam

Komentar
Tertarik untuk bergabung?

Lets Join US