LIBERALISASI PEMIKIRAN ISLAM: Gerakan bersama Misionaris, Orientalis, dan Kolonialis
"LIBERALISASI PEMIKIRAN ISLAM: Gerakan bersama Misionaris, Orientalis, dan Kolonialis"
RESENSI BUKU
Oleh: Ramadhani Tarigan
IDENTITAS BUKU
Judul buku : Liberalisasi Pemikiran Islam (Gerakan bersama Misionaris,
Orientalis, dan Kolonialis)
Pengarang :
Hamid Fahmy Zarkasyi
Penerbit : Centre
for Islamic and Occidental Studies (CIOS)
Tahun terbit :
2010
Tebal halaman : 139 halaman
Paham liberalisme sudah sangat familiar dan
banyak diperbincangkan dari berbagai kalangan di seluruh penjuru dunia. Paham
ini digaungkan terus menerus dan begitu banyak mengambil perhatian para pemikir
atau kalangan akademisi. Berbagai respon, baik positif maupun negatif terhadap
paham ini melalui karya-karya tulis dapat banyak kita temukan. Hingga saat ini keberpihakan
terhadap paham liberalisme tampak lebih mendominasi di berbagai bidang
kehidupan.
Hamid Hamid Zarkasyi dalam bukunya yang berjudul
“Liberisasi Pemikiran Islam (Gerakan bersama Misionaris, Orientalis, dan
Kolonialis)” tampak berbeda dengan pemikir atau cendikiawan muslim lainnya. Dalam
karyanya tersebut, ia tidak begitu saja menerima pemikiran-pemikiran yang
ditawarkan oleh Barat, akan tetapi ikut merespon dengan mengkaji, mengkritisi
dan membantah pemikiran-pemikiran tersebut secara gamblang, empuk, dan logis. Bantahan-bantahan
tersebut tidak berarti Hamid anti atau tidak terbuka dengan perkembangan zaman
yang terjadi saat ini. Ia mengkritisi dan membantah pemikiran-pemikiran
tersebut dikarenakan tidak sejalan dengan Islam itu sendiri. Islam bersifat
menyeluruh adapun paham-paham yang dipelopori oleh manusia seperti
pemikiran-pemikiran di atas bersifat dikotomis dan parsial saja. Karena itulah,
Hamid dapat dikatakan berbeda dengan sebagian cendikiawan muslim lainnya,
dimana malah ikut-ikutan berpartisipasi, berkontribusi, dan menyebarkan paham
tersebut melalui karya-karya mereka dengan argumen bahwa itu adalah “pembaharuan
pemikiran Islam” atau yang biasa disebut sebagai tajdid. Hamid menjelaskan
bahwa hakikatnya liberalisme hadir untuk mengusung paham-paham yang terdapat
dalam pandangan hidup dan kebudayaan Barat, atau dengan kata lain untuk
kepentingan Barat (misionaris, orientalis, dan kolonialis versi baru). Upaya
Barat adalah mencekoki paham-paham mereka untuk dapat diterima oleh seluruh
negara di dunia terutama Islam yang pada hakikatnya berseberangan dengan asas kehidupan
Barat. Karena itu, bagian pendahuluan pada buku ini ia menjelaskan mengenai
Barat modern dan postmodern. Barat modern ditandai dengan rasionalisme,
sekularisme, emperisme, dualisme atau dikotomi, desakralisasi, non-metafisis,
dan pragmatisme. Pemikiran-pemikiran di atas pada intinya bertumpu pada rasio
dan spekulasi filosofis dan bukan pada agama. Pendekatan intelektual dan
moralnya bersifat dikotomis. Pemikirannya terbuka dan selalu berubah. Makna
realitas dan kebenaran hanyalah terbatas pada realitas sosial, kultural,
empiris dan selalu bersifat rasional. Sedangkan Barat postmodern ditandai
dengan nihilisme, relativisme, anti-otoritas, pluralisme, multikulturalisme,
persamaan/equality, feminisme/gender, dan liberalisme yang pada akhirnya agama
dan persepsi manusia dianggap sama yakni tidak mempunyai kebenaran absolut. Dengan
demikian, perbedaan yang mendasar antara keduanya adalah Barat Modern mencari
hakikat sedangkan Barat Postmodern menggugat hakikat.
Pada bab kedua, ia menguraikan perbandingan
atau perbedaan antara Barat dan Islam. Dimana kedua kubu ini memiliki perbedaan
nilai yang sangat tajam. Bagi Barat, agama sebagai salah satu elemen dari
seluruh elemen peradaban. Sedangkan bagi Islam, agama sebagai asas seluruh
elemen peradaban. Pandangan hidup Islam bersumberkan pada wahyu, hadits, akal,
pengalaman, dan intuisi dengan pendekatan tawhidi. Adapun pandangan Barat
adalah seperti sekulerisme, rasionalisme, emperisme, pluralisme, dan lain
sebagainya yang tidak terdapat dalam tradisi intelektual Islam, bahkan jika
dikaji secara teliti bertentangan dengan Islam.
Pada bab ketiga, ia menjelaskan mengenai
makna dan sejarah liberalisme. Pada awalnya, liberalisme dipicu oleh kondisi
ekonomi dan politik yang didominasi oleh sistem feodal. Baru setelah berhasil
melakukan liberalisasi ekonomi, politik, dan sosial yang berkaitan dengan itu,
lalu mengarah pada liberalisasi agama dimana agama disingkarkan dari kehidupan
publik menjadi bersifat individual (sekulerisasi). Selain itu, dengan masuknya
pemahaman liberalisme ke dalam pemikiran keagamaan maka banyak konsep agama
Kristen yang berubah pada saat itu. Pada akhirnya, dari pemahaman inilah
kemudian tumbuh paham pluralisme, relativimse, dan lain sebagainya yang telah
diuraikan di atas.
Pada bab keempat, diuraikan mengenai Islam
dan tantangan liberalisme. Dimana pada dasarnya, Islam adalah tantangan bagi
liberalisme dalam mengepakkan pengaruhnya, begitupun liberalisme adalah
tantangan bagi Islam karena terus berusaha mematahkan sendi-sendi Islam dengan
memperlihatkan wajah Islam yang buruk di mata dunia serta menjauhkan umat Islam
itu sendiri dari Tuhan dan agamanya.
Pada bab kelima, Hamid menjelaskan dengan
sangat detil tentang agen-agen liberalisme beserta langkah-langkah strategis
yang harus dilakukan oleh Barat guna menguasai dan mempengaruhi umat Islam. Hamid
mengatakan bahwa agen-agen liberalisme ini adalah para misionaris, orientalis, dan kolonialis.
Ketiga agen di atas saling berkaitan, berhubungan, dan bekerja sama dalam
menaklukkan Islam. Pada buku ini, Hamid tidak asal bicara, strategi ini sudah
sangat jelas diuraikan dan merupakan hasil kajian Barat terhadap Islam selama
ini. Kekuatan dan kelemahan Islam berhasil dilacak dan kemudian dirumuskan atau
dirancang bagaimana menghancurkannya. Disini, Barat mengidentifikasi umat Islam
kepada 4 kelompok yaitu: 1) fundamentalis, 2) tradisionalis, 3) modernis, dan
4) liberal. Keempat kelompok ini kemudian dicarikan strategi dalam penanganannya.
Inilah kemudian hemat pembaca yang sedang terjadi di Indonesia saat ini. Hal
itu pula kemudian pada bab keenam (VI) Hamid menjelaskan mengenai liberalisasi
di Indonesia. Liberalisasi yang dilakukan di Indonesia terlihat sangat rapi,
dimana kata “Islam moderat” gencar dibahas, dikaji, dan disosialisasikan
sebagai bentuk Islam yang ideal bagi Indonesia. Padahal, jika dikaji secara
teliti jelas bahwa konsep Islam moderat yang dimaksud oleh Islam berbeda dengan
yang dimaksud oleh Barat. Islam moderat yang ditafsirkan oleh Barat adalah
Islam yang mau menerima, terbuka, dan bahkan mendukung pemikiran-pemikiran dari
Barat, yang mencocok-cocokkan segala konsep Barat ke dalam Islam.
Terakhir, pada bab ketujuh, Hamid
mengungkapkan bagaimana penerapan liberalisme pemikiran. Sebagaimana yang sudah
dijelaskan di atas bahwa penerapan liberalisme ini dapat dilakukan oleh tiga
agen penting di atas yakni misionaris, orientalis, dan kolonialis. Pemikiran
orientalis memiliki cara pandang Barat terhadap Islam merupakan sumber bagi
cendikiawan muslim untuk mengkritisi agamanya sendiri untuk dapat
memperkenalkan “perubahan atau pembaharuan pemikiran”. Pemikiran politik dan
ekonomi Barat yang kolonialis itu merupakan ujung tombak untuk merobek
pemikiran umat Islam melalui berbagai macam paham ideologi dan pandangan hidup
Barat. Sedangkan misionaris dengan misinya merupakan kekuatan yang telah lama
berkonfrontasi dengan umat Islam dari sejak zaman Islam di Spanyol hingga
perang Salib, bekerja sama secara aktif dengan keduanya. Pemikiran yang berasal
dari tiga unsur atau agen inilah yang kini digunakan untuk meliberalkan
pemikiran umat Islam di Indonesia. Beberapa pemikiran yang terus digalakkan termasuk
di Indonesia adalah seperti penyebaran doktrin relativisme, melakukan kritik
terhadap Al-Qur’an, penyebaran paham pluralisme agama, dan mendekonstruksi
syariah. Pemikiran-pemikiran semacam ini jelas banyak kita temui terutama para
akademisi atau mahasiswa yang berada di kampus-kampus dengan latar belakang
Islam. Inilah fenomena yang terjadi saat ini.
Menurut pembaca, Hamid telah berhasil menguraikan
hal-hal yang sangat mendasar mengenai liberalisasi hingga hal-hal yang tampak
mengkhawatirkan dan menakutkan atau arah (goals) dari paham ini. Hal ini dapat
dilihat bagaimana penulis menyusun kalimat yang padat dan alur yang sistematis.
Pesan yang diuraikan mampu memberikan penjelasan yang sangat gamblang kepada
pembaca. Kritikan-kritikan serta bantahan-bantahan yang dilontarkan terhadap
pemahaman tersebut tidak sebatas bantahan tanpa dasar melainkan berdasarkan
data, fakta, logika, dan kitab-kitab turats. Pembaca berhasil dibuat hanyut dan
berdialog dengan diri sendiri tentang posisi pembaca dalam buku tersebut,
seperti apakah pembaca termasuk fundamentalis, tradisionalis, modernis, atau
liberal. Pembaca kemudian mendapati diri pembaca termasuk pada kategori
tradisionalis-modernis, dimana golongan ini termasuk pada pihak yang cukup
menguntungkan bagi Barat. Melalui karya ini, pembaca benar-benar diajak
berpikir, merenung, melihat dan mengamati setiap kondisi yang terjadi pada saat
ini di tengah arus globalisasi. Tulisan ini sangat recommended dibaca
oleh kalangan akademisi, mahasiswa, pemikir Islam, tokoh-tokoh agama, dan lain
sebagainya guna menumbuhkan kesadaran sebagai seorang muslim yang sebenarnya
sedang dihadapkan dengan persoalan umat yang luar biasa. Dengan kata lain,
memprioritaskan permasalahan usuliyah bukan furu’iyah.
Hamid Hamid Zarkasyi membawakan karya ini
dengan bahasa yang kata demi katanya memberikan makna dengan uraian singkat
yang sangat gamblang. Walaupun bahasa yang digunakan banyak menggunakan istilah
Barat yang memang itulah istilah yang sedang dikaji, tetapi membuat pembaca
merasa terus melanjutkan bacaan. Pertama kali membaca kata
pengantar bahkan kata sambutan dari buku ini, pembaca langsung dibuat tertarik,
seolah diajak berdialog, timbul rasa penasaran. Buku kecil dengan tebal 139
halaman ini mengajak para pembaca untuk membuka pintu yang selama ini tertutup
atau dengan kata lain menyadarkan kita sebagai umat Islam dari tidur
panjang kita.
Secara umum, buku ini hemat pembaca tidak
memiliki kekurangan yang berarti. Maksudnya, kekurangan yang terdapat di buku
ini hanya sebatas pada banyaknya ditemukan kesalahan pada eyd, seperti kata
sistem yang ditulis “sistim”, dan masih banyak ejaan lainnya. Terakhir, setelah
membaca buku ini banyak kemudian pertanyaan baru yang muncul di kepala pembaca
untuk tahu lebih dalam dan menguatkan serta memperbaiki pemikiran yang selama
ini masih ambigu sebagai salah satu akibat dari beragam pemikiran Barat yang 7 tahun
terakhir ini pembaca ikuti.

Buku Liberalisasi Pemikiran Islam
