Feminisme (1)
"Feminisme (1) "
FEMINISME (1)
Bersama
Ustadzah Dr. Dinar Dewi Kania
Oleh Ramadhani Tarigan
Feminisme
lahir dari sejarah kelamnya masyarakat Barat. Para perempuan di Barat
mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan penindasan yang sangat kejam. Hal ini
dapat dilihat misalnya bagaimana inkuisi yang terjadi di Eropa banyak yang
dialami oleh para perempuan daripada laki-laki. Bahkan pada tahun 1595, salah seorang profesor dari Wittenberg University melakukan perdebatan serius mengenai apakah perempuan itu manusia atau bukan. (McKay dalam a History
of Western Society, 1983). Perdebatan
seperti ini menggambarkan bagaimana Barat memandang perempuan sampai dengan
dipertanyakan apakah perempuan termasuk manusia atau tidak.
Begitupun
agama, kaum feminis menganggap agama sama dengan diskriminasi. Hal ini
dikarenakan pemangku agama (pendeta) adalah laki-laki. Sedangkan laki-laki
dianggap mendiskriminasi. Karena itu, agama itu mendiskriminasi.
Dalam “Merriam Webster’s Dictionary and Thesaurus”,
feminisme dijelaskan sebagai sebuah teori politik, ekonomi dan kesetaraan
sosial yang berdasarkan pada jenis kelamin. Sedangkan Elinor Burkett menguraikan
feminisme sebagai suatu aktivitas terorganisir yang mengatasnamakan kepentingan
dan hak perempuan. Keyakinan terhadap kesetaraan dalam bidang-bidang sosial,
ekonomi, dan politik ini membuat paham feminisme Barat dimanifestasikan di
seluruh dunia dan diwakili oleh berbagai institusi yang berkomitmen untuk
aktivitas atas nama hak dan kepentingan perempuan. Adapun Susan Obsorne berpendapat bahwa feminisme adalah cara melihat dunia (worldview)
dimana perempuan melihatnya dari perspektif perempuan. Feminisme memusatkan
perhatiannya kepada konsep patriarki yang dimaknai sebagai sistem kekuasaan
laki-laki yang menindas perempuan melalui lembaga-lembaga sosial, politik dan
ekonomi. Dengan demikian, kata kunci dalam pengertian feminisme adalah
mengatasnamakan kepentingan perempuan dan dengan melihat segala sesuatu dari
satu sudut pandang yaitu sudut pandang perempuan.
Dari pengertian
di atas, tentu dapat dilihat adanya kepincangan dan kerancuan alasan dan
tujuan. Pertama, feminisme selalu mengatasnamakan kepentingan perempuan,
tetapi secara sepihak menyamaratakan bahwa semua perempuan pasti mengalami,
merasakan, menginginkan hal yang sama. Padahal, nilai yang dianut oleh
semua perempuan belum tentu sama, dan ironisnya
memaksakan semua perempuan bersepakat dengan mereka. Kedua, ketidakjelasan sasaran kategori yang mendapatkan dukungan
dan perlindungan. Dalam artian, semua perempuan yang merasa tertindas dan
diperlakukan secara tidak adil dan baik, terlepas siapa yang benar dan salah,
ketika dia adalah perempuan maka akan mendapat perlindungan atau dianggap
berada di kondisi atau nasib yang sama. Ketiga, memandang hanya dari
sudut pandang perempuan. Dengan kata lain, itu sama halnya dengan bias gender
(merugikan salah satu pihak) karena hanya melihat dari sudut pandang perempuan
dan menafikan sudut pandang laki-laki atau kemaslahatan bagi kedua belah pihak.
Pada tahun
1970, kaum feminis mengembangkan konsep gender. Kemudian, wacana gender
diperkenalkan oleh sekelompok feminis di London pada awal tahun 1977. Sejak itu
para feminis mengusung konsep gender equality atau kesetaraan gender
sebagai mainstream gerakan mereka.
Feminisme
membedakan pengertian antara gender dan seks. Gender menurut mereka adalah jenis
kelamin sosial yang merupakan konstruksi sosial. Sedangkan seks mengacu kepada
organ biologis seseorang. Namun, istilah gender tidak meluas hingga tahun 1970-an, ketika teori
feminis memasukkan konsep perbedaan antara seks biologis dan peran gender. Dalam
Sastra Inggris, trichotomy antara seks biologis, psikologis gender, dan
peran sosial gender pertama kali muncul dalam sebuah makalah feminis mengenai
transeksualisme pada tahun 1978.
Feminisme dalam
perjalanannya terus mengalami perkembangan. Yang awalnya hanya merupakan
gerakan biasa kemudian mulai menyadari harus dibangunnya suatu konsep atau
teori dalam ruang akademisi. Teori feminis adalah perluasan ke bidang teoretis
atau filosofis. Teori ini juga mencakup usaha dalam berbagai disiplin ilmu:
antropologi, sosiologi, ekonomi dan studi wanita, kritik sastra, sejarah seni
dan filsafat.
Teori sosial
feminis telah memusatkan perhatian pada pemahaman ketidaksetaraan mendasar
antara perempuan dan laki-laki dan dengan analisis kekuasaan laki-laki atas
perempuan (usaha kesetaraan). Premis dasarnya adalah bahwa dominasi laki-laki
berasal dari pengaturan sosial, ekonomi dan politik khusus untuk masyarakat
tertentu. Apabila fenomena seperti itu dibiarkan, dianggap akan terus melanggengkan
subordinasi perempuan. (Stevi Jackson, 1999). Karenanya, perempuan juga harus
memiliki hak yang sama, yakni memiliki kedudukan baik di ranah politik,
ekonomi, sosial, dan lain sebagainya.
Selain itu,
kaum feminis juga menganggap bahwa selama ini pengetahuan didominasi oleh
laki-laki, sedangkan perempuan lebih sering menjadi objek pengetahuan daripada produsennya. Akibatnya, banyak dari apa yang telah berlalu sebagai
pengetahuan objektif tentang dunia telah diproduksi oleh laki-laki, dibingkai
oleh lokasi khusus mereka dalam masyarakat sebagai laki-laki dan biasanya
laki-laki kulit putih, kelas menengah dan heteroseksual.
Walaupun kaum
feminis sudah membuat teori dasar sebagaimana di atas, yakni usaha kesetaraan,
namun pada dasarnya teori feminis bukanlah, dan tidak pernah, merupakan
fenomena statis sebagaimana teori-teori pada umumnya. Kaum feminis
terus-menerus merefleksikan ide-ide mereka sendiri, mengubah sikap mereka
sebagai tanggapan terhadap perdebatan dan tantangan dari para feminis lain.
Oleh karena itu, para ahli teori individu tidak dapat selalu
disematkan pada satu pernyataan tunggal tentang posisi mereka, karena ini terus
dikembangkan dan dimodifikasi. (Stevi Jackson, 1999) Contohnya, feminisme liberal dikomentari oleh feminisme radikal, kemudian
feminisme radikal pun dikomentari oleh feminisme marxisme, dan seterusnya. Dengan
demikian, teori feminisme sebenarnya tidaklah dapat
disebut dengan teori melainkan sekumpulan asumsi yang beranjak dari pengamatan
terhadap fenomena yang terjadi di masyakarat. Dan hal tersebut memang sudah
ditekankan sejak awal tentang perlunya berteori dari pengalaman mereka sebagai
wanita, sesuai dengan slogan mereka yakni 'pribadi adalah politik'.
Dan menariknya, gerakan feminisme yang semula adalah berupa upaya
untuk kesetaraan gender, kian kemari semakin menuntut dan bahkan menginginkan
posisi di atas laki-laki. Hal ini tentu tidak sesuai dengan konsep feminisme di
awal yaitu menuntut dan memperjuangkan kesetaraan. Hal menarik lainnya adalah
meskipun teori feminism tidak dapat dianggap sebagai teori karena tidak
konsisten dan begitu cepat berubah dan metodologi yang digunakan hanya
mengandalkan interview dept, tetapi suara dan teori atas dasar asumsi
tersebut tetap saja diperhitungkan dan didengarkan oleh berbagai kalangan. Hal ini
tentu tidak terjadi melainkan karena perjuangan, kerja keras, dan propaganda mereka
“kebohongan yang terus digaungkan akan menjadi kebenaran” yang begitu sangat massif.