Jl. Laksda Adisucipto, Papringan, Caturtunggal, Kec. Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281
HIMMPAS SUKA
Himpunan Mahasiswa Muslim Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Slider 1
Slider 1
Slider 2
Slider 2
Slider 3
Slider 3
Slider 4
Slider 4
Home FEMINISME

Feminisme (1)

"Feminisme (1) "

FEMINISME (1)

Bersama Ustadzah Dr. Dinar Dewi Kania

Oleh Ramadhani Tarigan

Feminisme lahir dari sejarah kelamnya masyarakat Barat. Para perempuan di Barat mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan penindasan yang sangat kejam. Hal ini dapat dilihat misalnya bagaimana inkuisi yang terjadi di Eropa banyak yang dialami oleh para perempuan daripada laki-laki. Bahkan pada tahun 1595, salah seorang profesor dari Wittenberg University melakukan perdebatan  serius mengenai apakah perempuan itu  manusia atau bukan. (McKay dalam  a  History of Western Society, 1983). Perdebatan seperti ini menggambarkan bagaimana Barat memandang perempuan sampai dengan dipertanyakan apakah perempuan termasuk manusia atau tidak.

Begitupun agama, kaum feminis menganggap agama sama dengan diskriminasi. Hal ini dikarenakan pemangku agama (pendeta) adalah laki-laki. Sedangkan laki-laki dianggap mendiskriminasi. Karena itu, agama itu mendiskriminasi.

Dalam “Merriam Webster’s Dictionary and Thesaurus”, feminisme dijelaskan sebagai sebuah teori politik, ekonomi dan kesetaraan sosial yang berdasarkan pada jenis kelamin. Sedangkan Elinor Burkett menguraikan feminisme sebagai suatu aktivitas terorganisir yang mengatasnamakan kepentingan dan hak perempuan. Keyakinan terhadap kesetaraan dalam bidang-bidang sosial, ekonomi, dan politik ini membuat paham feminisme Barat dimanifestasikan di seluruh dunia dan diwakili oleh berbagai institusi yang berkomitmen untuk aktivitas atas nama hak dan kepentingan perempuan. Adapun Susan Obsorne berpendapat bahwa feminisme adalah cara melihat dunia (worldview) dimana perempuan melihatnya dari perspektif perempuan. Feminisme memusatkan perhatiannya kepada konsep patriarki yang dimaknai sebagai sistem kekuasaan laki-laki yang menindas perempuan melalui lembaga-lembaga sosial, politik dan ekonomi. Dengan demikian, kata kunci dalam pengertian feminisme adalah mengatasnamakan kepentingan perempuan dan dengan melihat segala sesuatu dari satu sudut pandang yaitu sudut pandang perempuan.

Dari pengertian di atas, tentu dapat dilihat adanya kepincangan dan kerancuan alasan dan tujuan. Pertama, feminisme selalu mengatasnamakan kepentingan perempuan, tetapi secara sepihak menyamaratakan bahwa semua perempuan pasti mengalami, merasakan, menginginkan hal yang sama. Padahal, nilai yang dianut oleh semua  perempuan  belum tentu sama, dan ironisnya memaksakan semua perempuan bersepakat dengan mereka. Kedua, ketidakjelasan sasaran kategori yang mendapatkan dukungan dan perlindungan. Dalam artian, semua perempuan yang merasa tertindas dan diperlakukan secara tidak adil dan baik, terlepas siapa yang benar dan salah, ketika dia adalah perempuan maka akan mendapat perlindungan atau dianggap berada di kondisi atau nasib yang sama. Ketiga, memandang hanya dari sudut pandang perempuan. Dengan kata lain, itu sama halnya dengan bias gender (merugikan salah satu pihak) karena hanya melihat dari sudut pandang perempuan dan menafikan sudut pandang laki-laki atau kemaslahatan bagi kedua belah pihak.

Pada tahun 1970, kaum feminis mengembangkan konsep gender. Kemudian, wacana gender diperkenalkan oleh sekelompok feminis di London pada awal tahun 1977. Sejak itu para feminis  mengusung konsep  gender equality atau kesetaraan gender sebagai mainstream gerakan mereka.

Feminisme membedakan pengertian antara gender dan seks. Gender menurut mereka adalah jenis kelamin sosial yang merupakan konstruksi sosial. Sedangkan seks mengacu kepada organ biologis seseorang. Namun, istilah gender tidak meluas hingga tahun 1970-an, ketika teori feminis memasukkan konsep perbedaan antara seks biologis dan peran gender. Dalam Sastra Inggris, trichotomy antara seks biologis, psikologis gender, dan peran sosial gender pertama kali muncul dalam sebuah makalah feminis mengenai transeksualisme pada tahun 1978.

Feminisme dalam perjalanannya terus mengalami perkembangan. Yang awalnya hanya merupakan gerakan biasa kemudian mulai menyadari harus dibangunnya suatu konsep atau teori dalam ruang akademisi. Teori feminis adalah perluasan ke bidang teoretis atau filosofis. Teori ini juga mencakup usaha dalam berbagai disiplin ilmu: antropologi, sosiologi, ekonomi dan studi wanita, kritik sastra, sejarah seni dan filsafat.

Teori sosial feminis telah memusatkan perhatian pada pemahaman ketidaksetaraan mendasar antara perempuan dan laki-laki dan dengan analisis kekuasaan laki-laki atas perempuan (usaha kesetaraan). Premis dasarnya adalah bahwa dominasi laki-laki berasal dari pengaturan sosial, ekonomi dan politik khusus untuk masyarakat tertentu. Apabila fenomena seperti itu dibiarkan, dianggap akan terus melanggengkan subordinasi perempuan. (Stevi Jackson, 1999). Karenanya, perempuan juga harus memiliki hak yang sama, yakni memiliki kedudukan baik di ranah politik, ekonomi, sosial, dan lain sebagainya.

Selain itu, kaum feminis juga menganggap bahwa selama ini pengetahuan didominasi oleh laki-laki, sedangkan perempuan lebih sering menjadi objek pengetahuan daripada produsennya. Akibatnya, banyak dari apa yang telah berlalu sebagai pengetahuan objektif tentang dunia telah diproduksi oleh laki-laki, dibingkai oleh lokasi khusus mereka dalam masyarakat sebagai laki-laki dan biasanya laki-laki kulit putih, kelas menengah dan heteroseksual.

Walaupun kaum feminis sudah membuat teori dasar sebagaimana di atas, yakni usaha kesetaraan, namun pada dasarnya teori feminis bukanlah, dan tidak pernah, merupakan fenomena statis sebagaimana teori-teori pada umumnya. Kaum feminis terus-menerus merefleksikan ide-ide mereka sendiri, mengubah sikap mereka sebagai tanggapan terhadap perdebatan dan tantangan dari para feminis lain.

Oleh karena itu, para ahli teori individu tidak dapat selalu disematkan pada satu pernyataan tunggal tentang posisi mereka, karena ini terus dikembangkan dan dimodifikasi. (Stevi Jackson, 1999) Contohnya, feminisme liberal dikomentari oleh feminisme radikal, kemudian feminisme radikal pun dikomentari oleh feminisme marxisme, dan seterusnya. Dengan demikian, teori feminisme sebenarnya tidaklah dapat disebut dengan teori melainkan sekumpulan asumsi yang beranjak dari pengamatan terhadap fenomena yang terjadi di masyakarat. Dan hal tersebut memang sudah ditekankan sejak awal tentang perlunya berteori dari pengalaman mereka sebagai wanita, sesuai dengan slogan mereka yakni 'pribadi adalah politik'.

Dan menariknya, gerakan feminisme yang semula adalah berupa upaya untuk kesetaraan gender, kian kemari semakin menuntut dan bahkan menginginkan posisi di atas laki-laki. Hal ini tentu tidak sesuai dengan konsep feminisme di awal yaitu menuntut dan memperjuangkan kesetaraan. Hal menarik lainnya adalah meskipun teori feminism tidak dapat dianggap sebagai teori karena tidak konsisten dan begitu cepat berubah dan metodologi yang digunakan hanya mengandalkan interview dept, tetapi suara dan teori atas dasar asumsi tersebut tetap saja diperhitungkan dan didengarkan oleh berbagai kalangan. Hal ini tentu tidak terjadi melainkan karena perjuangan, kerja keras, dan propaganda mereka “kebohongan yang terus digaungkan akan menjadi kebenaran” yang begitu sangat massif.



Komentar
Tertarik untuk bergabung?

Lets Join US